Article Detail

Era Digital, Brainrot Merajalela

Era digital yang semakin berkembang dengan pesatnya, membuat para penggunanya mengenal berbagai istilah salah satunya istilah “brainrot”. Terutama di kalangan generasi zaman ini, fenomena ini semakin mengkhawatirkan. Secara sederhana, "brainrot" mengacu pada kondisi mental yang tumpul, pasif, dan kehilangan kemampuan berpikir kritis akibat terpapar konten digital yang repetitif, tidak substansial, dan seringkali absurd dalam jangka waktu yang lama. Ibarat otak yang "membusuk" karena terus menerus "dijejali" makanan yang tidak bernutrisi.

Contoh “Brainrot” dapat ditemukan di meme dan tren yang viral misalnya, meme "Skibidi Toilet", "Toilet Skibidi", atau konten-konten lain yang viral di media sosial, sering menjadi contoh brainrot karena mudah dipahami, namun tanpa konteks yang dalam. Penggunaan bahasa gaul seperti "rizz" (karisma), "gyatt" (bokong), "sigma" (laki-laki alfa), "fanum tax" (mencuri makanan), atau istilah-istilah lainnya yang sering muncul di media sosial bisa menjadi contoh brainrot.

Adapula fenomena brainrot Italia, yang muncul di TikTok, menampilkan karakter-karakter aneh seperti "Bombardiro Crocodilo" (buaya berwujud pesawat pengebom) atau "Tralellero Trallala" (hiu putih berwujud makhluk aneh).

Pada dasarnya, fenomena “brainrot” bukanlah hal yang sepenuhnya baru. Istilah ini muncul akibat banyaknya pengguna internet yang memanfaatkannya secara berlebihan sehingga menimbulkan ketergantungan yang parah dalam melihat atau membuat suatu konten tertentu. Inti dari "brainrot" terletak pada paparan berulang terhadap konten yang: ringan, adiktif, absurd, dan dukungan alogaritma. Konten yang tidak memerlukan pemikiran mendalam, seperti video singkat yang repetitif, meme yang mudah dicerna, atau tren TikTok yang cepat berganti. Selanjutnya konten dirancang untuk memberikan dopamin instan, membuat pengguna terus-menerus mencari "klik" berikutnya. Konten bersifat absurd dalam arti banyak konten yang tidak kogis dan mengandalkan humor. Pada akhirnya, konten didukung sistem rekomendasi platform media sosial cenderung menampilkan lebih banyak konten serupa dengan apa yang telah ditonton penggunanya.

Kenyataannya, konten-konten yang telah dibuat bermunculan secara terus menerus yang mengakibatkan beberapa dampak dampak negatif pada fungsi kognitif dan mental penontonnya. Hal yang jelas terjadi adalah adanya kemampuan berpikir kritis menurun, daya tangkap dan perhatian rendah, kreativitas dan imajinasi menurun, gangguan emosional, serta adanya distorsi persepsi realitas atau pengacauan batas antara dunia maya dan dunia nyata.

Fenomena “Brainrot” ini bisa dialami oleh siapa saja tidak terbatas pada kelompok usia tertentu. Generasi muda yang tumbuh besar dengan internet dan media sosial cenderung lebih rentan terhadap fenomena ini. Kemudahan akses dan tekanan sosial untuk mengikuti tren daring dapat mempercepat proses “brainrot”. Namun, siapapun yang menghabiskan waktu berlebihan dan tanpa sadar mengonsumsi konten digital yang tidak berkualitas berpotensi mengalaminya.


Penulis: Caecilia (Guru Bahasa Indonesia)


Comments
  • there are no comments yet
Leave a comment